Senin, 14 Januari 2008

Gigi Rahasia Makhluk Aneh

Hari belum begitu malam. Yudi sedang nonton tivi di rumah. Sendiri saja. Ayah, Ibu dan kedua adiknya pergi ke puncak. Menginap di villa teman Ayah. Yudi tidak ikut. Besok pagi ia akan pergi memancing bersama teman-teman sekelas. Semua anak laki-laki akan berkumpul di sekolah jam 6 pagi. Itu lebih mengasyikkan daripada pergi ke puncak.
Rumah tetangga di sebelah kiri rumah Yudi, sangat sepi. Pak Wawan baru meninggal kemarin. Istri dan pembantunya mungkin sudah tidur. Anjing mereka, Bruno mendengus-dengus gelisah di halaman. Mungkin Bruno sedih, kehilangan majikan yang bisa mengajaknya bermain.
Di rumah sebelah kanan lebih sepi lagi. Rumah itu sedang direnovasi. Batu bata dan kerikil bertumpuk di halamannya. Alangkah berbeda suasana malam dengan siang hari. Tadi siang banyak pekerja bangunan di rumah sebelah. Eko, Dimas, dan Iwan juga datang ke rumah Yudi untuk mengerjakan tugas kelompok. Kini setelah malam tiba, suasana jadi sepi sekali.
“Ah sebaiknya aku tidur sekarang. Supaya besok tidak kesiangan,” pikir Yudi. Ia segera mematikan tivi. Tiba-tiba terdengar bunyi anjing melolong.
“Itu suara Bruno. Jangan-jangan ia melihat arwah majikannya,” batin Yudi. Ia agak takut. “Ah, Dimas dan Iwan payah, sih. Tak mau kuajak menginap disini!” pikir Yudi lagi. Dimas dan Iwan meledeknya sore tadi,
“Pasti kamu takut ya? Badan sebesar gajah, tapi takut tidur sendiri!”
Kini terdengar bunyi kerikil diinjak orang. Apa itu pencuri? Dag dig dug… Yudi bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
“Uaaaaauung….!” Terdengar lagi lolongan Bruno.
“Ah, lebih baik kuperiksa. Mungkin ada pencuri di rumah sebelah!” Yudi berdoa memohon keberanian. Lalu mengambil senter dan pentungan.
Yudi mengendap-endap keluar. Ia mengintip dari tembok rumahnya ke rumah sebelah. Ada makhluk berbaju putih dan bertopi sedang jongkok. Tampaknya sedang mencari sesuatu. Yudi menyalakan senter. Makhluk itu menoleh. Wajahnya kuning, hidungnya aneh, giginya besar-besar bagaikan gigi raksasa. Yudi gemetar dan segera masuk ke rumah, mengunci pintu.
Makhluk itu ternyata tidak mengikutinya. Yudi jadi penasaran. Mungkin saja itu makhluk angkasa luar yang butuh pertolongan. Perlahan-lahan Yudi keluar lagi. Kali ia keluar pagar, menuju ke rumah sebelah. Ternyata makhluk itu masih ada. Ia sedang mencari sesuatu dengan senter. Keberanian Yudi timbul. Tak mungkin hantu membawa senter.
“Siapa kau? Awas, kulapor pada satpam!” gertak Yudi.
Tiba-tiba makhluk itu menoleh. Ia memakai kedok. Pantas wajahnya berwarna kuning dan bentuk hidungnya aneh.
“Ayo lekas jawab, atau rasakan pentungku ini,” desak Yudi.
Makhluk itu tertegun. Kemudian terdengar suaranya.
“Jangan pukul aku, Yud. Ini aku, Eko!” Eko membuka topi dan kedoknya.
Yudi terperangah.
“Kamu… kamu sedang apa malam-malam begini? Pakai kedok… , pakai topi… jas lab kakakmu…” Yudi menggeleng-gelengkan kepala.
“Maaf, Yud! Aku berdandan begini supaya tidak dikenali orang. Aku sedang mencari…” Eko ragu meneruskan kata-katanya.
“Cari apa, Ko? Kau kehilangan barang berharga?” Yudi penasaran.
“Iya. Aku akan beritahu kamu, asal jangan beritahu teman-teman ya!” kata Eko lagi.
“Aku berjanji akan merahasiakannya,” janji Yudi tambah penasaran.
“Tadi siang kan kita makan bakso di sini. Baksonya keras dan gigi palsuku terlepas. Lalu kuludahkan keluar bersama bakso. Di dekat kerikil-kerikil ini. Aku takut ketahuan teman-teman. Aku malu memakai gigi palsu, walau hanya satu buah. Setelah aku, Iwan, dan Dimas pulang dari rumahmu, sebenarnya aku mau kembali ke sini. Tapi masih banyak tukang bangunan. Jadi kutunggu sampai malam. Gigi palsu itu harus ketemu. Kalau tidak, kan kelihatan kalau gigiku ompong. Lagipula ibuku pasti marah, karena harga gigi palsu itu mahal!”
Yudi tersenyum geli bercampur kasihan.
“Jadi sampai sekarang belum ketemu? Jangan-jangan dibawa lari tikus, Ko!” kata Yudi. “Bentuknya seperti apa sih?”
“Seperti gigi biasa. Ada plastik merah jambu dan kawatnya!” kata Eko.
Yudi membungkuk. Mengamati sekitar tempat itu dengan seksama. Dan di antara batu-batu kerikil tampak kepingan berwarna merah jambu. Yudi mengangkatnya dan menunjukkan pada Eko.
“Ini yang kamu cari, Ko?” tanya Yudi.
Eko cepat menyambar benda itu, menggosokkannya di bajunya.
“Ya, ya, benar. Aduh, Yud, terimakasih banyak! Kamu telah menolongku memecahkan masalah yang sulit,” kata Eko riang.
“Kamu hebat, Ko. Kecil-kecil begini sudah berani sendirian di tempat gelap!” puji Yudi.
“Ah, ini kan terpaksa!” kata Eko. “Ingat ya, Yud. Jangan ceritakan rahasiaku ini pada siapa-siapa!”
“Iya, aku sendiri juga punya rahasia, Ko. Sebenarnya aku takut tidur sendirian. Tetangga sebelah rumahku baru meninggal kemarin. Anjingnya melolong terus. Suasananya mengerikan. Dimas dan Iwan tak mau menginap disini menemaniku!” Yudi tiba-tiba mempercayakan rahasianya pada Eko.
“Bagaimana kalau aku menginap di rumuhmu malam ini? Aku sangat berterimakasih padamu. Aku juga takkan cerita pada siapa-siapa kalau kamu takut tidur sendiri!” kata Eko.
“Wah, bagus sekali tuh. Kamu benar-benar menolongku memecahkan masalah yang sulit!” kata Yudi gembira.
Malam itu Eko menginap di srumah Yudi. Esok harinya Dimas dan Iwan menanyakan apakah Yudi bisa tidur semalam. Yudi menjawab dengan mantap. “Tentu saja, aku tertidur pulas bagaikan bayi!” rahasia Yudi dan Eko tidak tersebar di antara kawan-kawannya.

Kenangan Tentang Bunda

Oleh: Mudjibah Utami (Bobo No. 33/XXX)


Brek! Via menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya meleleh membasahi bantal. Hati Via betul-betul terluka mendengar omongan Bi Jum.
"Lo, kenapa memangis?" tanya Eyang Putri cemas. Beliau meletakkan obat dan segelas air putih di meja.
Via diam tidak menjawab. Isaknya semakin jelas terdengar.
"Eyang, benarkah Bunda tidak mau mengurus Via?" tanyanya terpatah-patah.
"Siapa bilang?'
"Tadi di Puskesmas Bi Jum bercerita pada orang-orang. Katanya Bunda tidak mau mengurus Via. Bunda sibuk berkarir. Itulah sebabnya Via diasuh Eyang."
Eyang mengangguk-angguk mulai memahami persoalan Via. Namun beliau belum menanggapi pertanyaan cucunya.
"Minum obat dulu, ya. Nanti kita bicarakan hal ini," bujuk Eyang seraya membantu Via minum obat. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya.
Pagi tadi Eyang menyuruh Bi Jum, pembantunya mengantar Via berobat ke Puskesmas. Sudah dua hari Via pilek. Biasanya Eyang sendiri yang mengantar Via berobat. Namun tetangga sebelah meninggal. Eyang melayat ke sebelah.
"Benarkah Bunda tidak mau mengasuh Via, Eyang?" desak Via penasaran.
Eyang menatap lembut cucunya yang sedang sedih dan gelisah. Dengan penuh kasih sayang tangannya yang keriput membelai Via.
"Apakah Via merasa begitu?"
Via tercenung. Ya, sepertinya ucapan Bi Jum ada benarnya juga. Bude Laras dan Bulik Prita, saudara Bunda mengasuh sendiri anak-anaknya. Meskipun mereka berdua juga bekerja di kantor. Sementara Via diasuh Eyang.
"Bingung, ya? Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain."
"Dan alasan itu karena mereka tidak mau repot mengasuh anaknya, kan?" potong Via sengit.
"Mmm, sebaiknya Via cari tahu sendiri ya, jawabannya. Nanti Eyang beritahu caranya."
Via menatap Eyang tak berkedip. Dengan senyum tetap tersungging di bibir, Eyang beranjak mengambil kertas dan bolpoin.
"Dulu, kalau Eyang kecewa terhadap seseorang, Eyang menulis semua hal tentang orang tersebut. Semua kenangan yang manis atau pun yang tidak menyenangkan. Biasanya begitu selesai menulis, hati Eyang lega. Pikiran pun menjadi jernih. Sehingga Eyang bisa menilai orang itu dengan tepat. Via mau mencoba cara ini? Tulislah kenangan tentang Bunda. Mudah-mudahan Via akan menemukan jawaban. Eyang ke dapur dulu, ya."
Begitu Eyang berlalu, Via meremas kertas. Untuk apa menulis kenangan tentang Bunda? Bikin tambah kesal saja. Plung! Via melempar kertas ke tempat sampah.
Langit begitu biru. Via menatap gumpalan awan putih yang berarak. Dulu Bunda bercerita awan itu berlari karena takut digelitik angin. Kenangan Via kembali ke masa kecil. Bunda selalu mendongeng menjelang tidur. Bunda selalu memandikan dan menyuapinya. Tugas itu tidak pernah digantikan pembantu, meskipun Bunda juga bekerja di kantor.
Tiba-tiba jam kerja Bunda bertambah, karena hari Sabtu libur. Bunda tiba di rumah paling awal pukul 17.20. Kini Via lebih banyak bersama pembantu. Suatu ketika Bunda pulang lebih awal karena tidak enak badan. Saat itu waktu bagi Via tidur siang. Namun pembantu mengajaknya main ke rumah tetangga. Bunda marah dan pembantu ketakutan. Ia keluar.
Sambil menunggu pembantu baru, Via ikut Bunda ke kantor sepulang sekolah. Mula-mula semua berjalan lancar. Lalu Via mulai sakit-sakitan. Akhirnya ia harus opname. Dokter menduga Via kurang istirahat dan makan tidak teratur. Bunda menangis mendengarnya. Ia merasa bersalah.
Eyang datang menawarkan diri mengasuh Via di Salatiga. Via senang sekali. Ia tidak akan kesepian karena banyak sepupunya yang tinggal tidak jauh dari rumah Eyang. Sebetulnya Bunda keberatan. Namun demi kebaikan Via, Bunda pun rela.
Setiap awal bulan Ayah dan Bunda bergantian ke Salatiga. Biasanya mereka tiba Minggu pagi. Sore harinya mereka sudah kembali ke Bandung, karena esok paginya harus ke kantor. Bunda pun selalu menyempatkan diri mengambil rapor Via. Atau menemani Via ikut piknik sekolah. Saat ulang tahun Via, Ayah dan Bunda cuti untuk merayakannya bersama.
Ah, tiba-tiba ada aliran haru di dada Via. Keraguannya terhadap kasih sayang Bunda, hilang sudah.
"Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain," kembali mengiang kata-kata Eyang.
Hop! Via bangkit meraih kertas dan pena. Ia mulai menuliskan kenangannya tentang Bunda. Sewaktu-waktu bila hatinya ragu ia akan membaca tulisannya kembali. Biarlah Bi Jum berpendapat Bunda tidak mau mengasuh dirinya. Namun Via yakin Bunda amat menyayanginya. Keyakinan itu akan ia jaga baik-baik. Via menghela nafas lega. Kini ia tidak boleh begitu saja terpengaruh ucapan orang lain.

Nasi Goreng

Oleh: Duryatin Amal (Bobo No. 35/XXX)


Rima dan Ramli tinggal bertiga dengan ibu mereka. Rima kini baru masuk SLTP. Dan Ramli naik ke kelas IV SD. Ibu mereka bekerja sebagai pencuci pakaian di beberapa rumah besar. Walaupun demikian, Rima dan Ramli tetap bercita-cita tinggi. Mereka selalu rajin belajar dan tidak putus asa.
Tahun ini, Rima sangat bangga, karena ia diterima di salah satu SLTP Negeri favorit. Rima harus menjalani MOS (Masa Orientasi Siswa) selama tiga hari pertama. Pada masa itu, ia bisa berkenalan dengan siswa lainnya. Juga dengan kakak kelas dan dengan program sekolahnya.
Pada hari kedua MOS, Kak Mimi, salah satu kakak OSIS memberi pengumuman,
"Adik-adik kelas satu, besok ada acara tukaran makanan. Jadi kalian semua harus bawa makanan sendiri-sendiri. Nantinya akan saling ditukarkan!"
"Kak, makanannya misalnya apa, Kak?" tanya salah seorang anak.
"Oh, ya! Harus nasi lengkap dengan lauk dan sayuran. Harganya minimal Rp 2000,00."
Setelah Kak Mimi pergi, Rima jadi bingung sendiri. Dia akan membawa nasi dan lauk apa? Di rumahnya tak ada lauk yang enak dan istimewa. Paling hanya tempe dan tahu. Di rumah, bisanya Rima menambahkan kecap di nasi putihnya. Itu sudah terasa nikmat sekali baginya. Tapi kalau Rima membawa menu seperti itu ke sekolah, ia takut diejek kawan-kawannya.
Setiba di rumah, Rima menceritakan tugasnya itu kepada Ibu.
"Rim, sekarang Ibu mau kerja dulu. Kamu saja yang memikirkan menu apa akan kamu bawa. Kalau bisa, yang murah-murah saja. Agar Ibu sanggup membelinya," kata Ibu.
Namun, sampai ibunya pulang kerja, Rima belum juga menemukan jalan keluarnya. Untungnya, pada saat sedang belajar malam, ia menemukan ide. Rima bergegas menemui ibunya.
"Bu, bagaimana kalau besok Rima bawa nasi goreng saja? Murah dan mudah kan Bu?" ujar Rima.
"Benar juga. Kalau begitu, besok pagi-pagi akan Ibu buatkan nasi goreng," kata Ibu sambil menguap. Rima iba melihat ibunya. Ibu Rima sebenarnya belum terlalu tua. Namun karena ia bekerja sangat keras. wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Paginya, Rima membantu ibunya memasak nasi goreng. Nasi goreng itu lalu dibungkus dengan daun pisang yang diambil dari kebunnya.
"Terima kasih, ya, Bu. Rima berangkat dulu, ya!" pamit Rima pada ibunya. Dengan gembira ia mengayuh sepeda tuanya menuju ke sekolah. Beberapa saat kemudian, Rima sudah berada di dalam kelas. Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya tibalah acara yang dinanti-nanti Rima. Acara pertukaran makanan.
"Adik-adik kelas satu, sudah bawa makanan semua, kan?" tanya Kakak OSIS.
"Sudah, Kak!" jawab murid-murid kelas satu serentak.
Makanan yang dibawa murid-murid lalu dikumpul di meja guru. Rima mulai tegang.
Bagaimana jika makanannya jatuh pada temannya yang kaya? Apa dia mau memakan nasi gorengnya yang sederhana? Rima takut kalau-kalau teman-temannya mencemoh masakan itu.
Akhirnya saat pembagian makanan pun tiba. Rima mendapat makanan dari Rio. Sedangkan nasi goreng bungkusannya diterima Miranda. Rima tidak langsung membuka kotak bekal dari Rio. Ia melirik ke arah Miranda yang membuka bungkusan nasi gorengnya itu.
"Wow, nasi goreng! Aku suka sekali nasi goreng! Wah kelihatannya enak!" sorak Miranda. Rima melihat Miranda memakan sesendok nasi gorengnya.
"Wow, enak sekali! Punya siapa ini?" tanya Miranda.
"Itu punyaku," jawab Rima.
"Oh, kamu Rima, ya?"
"Iya," jawab Rima singkat.
"Rim, siapa yang memasak nasi goreng ini?" tanya Miranda.
"Ibuku, " sahut Rima sedikit lega.
"Kebetulan, lusa ulangtahunku. Aku sedang cari makanan katering. Apa ibumu mau menerima pesanan nasi goreng seperti ini?" tanya Miranda.
"Bisa! Tentu saja bisa! Nanti akan aku bicarakan dengan ibuku," sahut Rima senang. Rosa dan Maya mendekati Miranda dan Rima.
"Oh, ini ya, nasi gorengnya! Boleh kucoba?" kata Rosa sambil menyendok sedikit nasi goreng. "Wah, enak sekali! Ibuku kan bekerja di kantor. Kebetulan Ibu sedang bingung mencari ketering untuk makan siang di kantornya! Ibuku pasti senang kalau bisa memesan nasi goreng seperti ini," kata Rosa.
"Oh, tentu saja bisa!" jawab Rima.
Kabar ini cepat menyebar. Sampai pada saat istirahat kedua, saat Rima sedang jalan di kantin, ibu penjual di kantin bertanya.
"Kamu Rima, ya?" tanyanya.
"Iya. Ada apa, Bu?" tanya Rima heran.
"Begini, Ibu mau pesan nasi goreng buatan ibumu yang katanya enak itu. Mau Ibu jual di kantin ini. Kalau bisa, lusa ibu pesan lima puluh bungkus dulu. Kalau laris, nanti ibu akan pesan lebih banyak lagi!"
"Oh, ya? Baiklah, nanti saya tanyakan ke Ibu!" jawab Rima senang.
"Oh, ya untuk modalnya ini ada sedikit uang," ibu kantin menyodorkan sejumlah uang.
Sampai di rumah, Rima berlari-lari mendekati ibunya yang sedang memasak. Ia bercerita tentang pesana nasi goreng yang diterimanya tadi.
"Oh, Ibu senang sekali!" Ibu memeluk Rima. Mereka sangat bersyukur untuk berkat Tuhan hari itu.


Sumber : http://home.pacific.net.id/l


Free Tempates by Isnaini Dot Com